BANDA ACEH – Sekelompok anak muda duduk melingkar di atas panggung kecil didepan anjungan kabupaten Bener Meriah. Kemudian, salah satu diantara mereka mengucapkan salam sebagai penanda pembuka penampilan kesenian Didong yang disuguhkan kepada para pengunjung Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, Jumat (10/11/2023).
Tepuk tangan membentuk irama yang diiringi alunan bait-bait syair nan terdengar merdu. Penonton yang penasaran dengan suara itu, perlahan mendekat dan mengerumuni anjungan daerah penghasil kopi Gayo tersebut.
Didong merupakan seni pertunjukkan yang dilakukan oleh para lelaki secara berkelompok (biasanya berjumlah 15 orang), dengan ekspresi yang bebas, sambil duduk bersila atau berdiri sambil mengentak-entakkan kakinya.
Mereka juga melantunkan syair-syair yang berbahasa Gayo dengan suara yang merdu, sambil manabuh gendang, bantal atau panci dan bertepuk tangan secara bervariasi, sehingga memunculkan suara dan gerak yang indah dan menarik.
Seni pertunjukkan tradisional yang menjadi kebanggaan masyarakat ini mampu bertahan hingga sekarang ditengah perkembangan teknologi dan pengaruh westernisasi. Masyarakat tidak bosan-bosannya menyaksikan ceh-ceh Didong berdidong di hampir setiap malam minggu. Pertunjukannya pun dilakukan hingga semalam suntuk (dari isya hingga subuh).
Syair-syair yang dilantunkan dengan kekuatan perpaduan konfigurasi seni gerak, sastra dan suara bagaikan ìmenyihirî para penonton untuk ìhanyutî dan terus mendengar refleksi sosial dan religius dari ceh-ceh Didong tentang berbagai persoalan sosial yang ada di masyarakat, beserta hubungan manusia dengan alam, agar hidup ini dapat disikapi secara bijaksana.
Regenerasi seniman Didong berjalan baik, karena hampir disetiap generasi muncul seniman-seniman berbakat dan fenomenal. Mereka umumnya bersekolah di sekolah ìrimbaî. Pengetahuan yang mereka peroleh adalah pengetahuan tentang kosmologi alam, sebagai bentuk kesadaran mikrokosmos dalam struktur realitas, dan pengetahuan akan pengetahuan dan kearifal lokal serta kebijaksanaan.
Kemudian, pesan-pesan yang mereka sampaikan dalam berkesenian adalah pesan-pesan humanis dan hati nurani rakyat. Didong merupakan salah satu kesenian tradisional populer di tengah masyarakat Bener Meriah, Takengon dan Aceh Tengah. Kesenian ini bagian dari tradisi masyarakat Gayo yang masih berkembang hingga saat ini.
Para seniman Didong juga dipanggil dengan sebutan ceh-ceh Didong. Ada beberapa nama pemain Didong yang terkenal, diantaranya Ceh Lakiki, Ceh Toëet, Ceh Daman, Ceh Ibrahim Kadir, Ceh Ujang Lakiki, Ceh Ucak, Ceh Tujuh, Ceh Idris Sidang Temas, dan Ceh Abd Rauf.
Pj Bupati Kabupaten Bener Meriah, Haili Yoga menyebutkan, bahwa Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 adalah wadah untuk mengenalkan budaya.
“Yang kami lakukan malam ini, adalah salah satu upaya memperkenalkan didong Gayo kepada para Pengunjung PKA, karena event ini adalah wadahnya. Semoga dengan tampilan kesenian dari kami dapat menghibur para pengunjung,” kata Haili usai menggelar didong.
Ia juga berharap anjungan Bener Meriah dapat mewarnai pelaksanaan PKA 8 kali ini.
“Kami dari Bener Meriah berupaya untuk mewarnai pelaksanaan PKA dengan tampilan seni budaya yang spontan di anjungan Bener Meriah, agar masyarakat dapat terhibur dan menikmati pelaksanaan PKA tahun ini,” pungkasnya.
Pada kesempatan itu, Staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Bener Meriah, Juhri, menceritakan bahwa ingat betul ketika mulai belajar bermain Didong sejak kecil. Bahkan, menurutnya, kesenian tersebut adalah tradisi yang sudah mendarah daging ditengah masyarakat di sana.
“Sejak saya lahir didong itu memang sudah ada di Bener Meriah – Takengon atau masyarakat Gayo-lah khususnya. Tapi kalau untuk tahun lahirnya saya tidak tahu, sepertinya sudah ada sejak zaman belanda,” katanya, Sabtu 10 November 2023.
Kata Juhri mengisahkan, Didong tak hanya sekadar penampilan kesenian semata, namun juga ikut membantu dalam proses pembangunan. Masyarakat Bener Meriah dan Aceh Tengah dulunya kerap memainkan Didong saat hendak membangun Masjid atau Musallah.
“Didong ini diperlombakan, jadi setiap warga yang ingin menyaksikan harus membeli tiket, dan dari hasil itu disumbangkan untuk pembangunan masjid,” imbuhnya.
Dulu, tambah Juhri, setiap pembangunan rumah ibadah, penampilan Didong dimainkan semalam suntuk (semalaman) dimulai dari pukul 20.00 hingga menjelang subuh. Menariknya, kala itu pemain menampilkan kesenian Didong dengan ikhlas tanpa dibayar demi pembangunan Masjid.
“Kalau saya ikut didong dulu bukan saya yang dibayar, tapi kami ikut menyumbang, begitulah semangat untuk membangun masjid, meunasah, itu jasa-jasa orang dulu. Didong ini sangat berkontribusi dalam pembangunan, apalagi ceh-ceh terdahulu,” tuturnya.
Beranjak dari semangat itulah kesenian Didong di tanah Gayo tidak pernah mati apalagi punah. Kesenian ini terus berkembang di tengah masyarakat hingga saat ini.
Di sisi lain, untuk tetap menjaga kelestarian Didong, Disdikbud Bener Meriah juga terus menggelar festival atau perlombaan tingkat pelajar dan event-event kesenian lainnya.
“Didong ini sangat berkembang dan terus kita lestarikan melalui atraksi budaya, dan festival tingkat anak sekolah,” pungkasnya.
SEJARAH DIDONG
Melihat kepada sejarahnya, didong yang berkembang di Gayo memiliki berbagai versi cerita kemunculannya. Sejarah asal-usul kesenian didong secara pasti belum ada keterangan yang mampu mengungkapkannya. Ada yang berpendapat bahwa umur kesenian ini sama tuanya dengan adanya orang Gayo itu sendiri. Ada juga yang mengatakan bahwa kata didong itu mendekati pengertian kata ‘dendang’ dalam bahasa Indonesia. Arti ‘dendang’ sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah nyanyian ungkapan rasa senang, gembira sambil bekerja atau diiringi bunyi-bunyian.
Salah satu versi yang diyakini masyarakat Gayo di Aceh Tengah, didong berasal dari seni tari dan sastra, dilengkapi dengan beberapa jenis instrumen tradisional, yang dilakukan oleh Sengeda, anak Raja Linge XIII ketika membangunkan Gajah Putih yang merupakan penjelmaan adiknya dari pembaringannya ketika hendak menuju pusat Kerajaan Aceh di Bandar Aceh. Pengikut Sengeda yang mengikuti perjalanan Gajah Putih dari Negeri Linge ke ujung Aceh itu mengalunkan lagu dengan kata “enti dong, enti dong, enti dong” yang artinya jangan berhenti jalan terus.
Sejarah didong mengalami masa jaya dan masa stagnasi, dari periode ke periode. Seiring waktu, didong mengalami perubahan dan penambahan kreasi yang masuk kedalam kesenian ini, meski sebelumnya atau aslinya tidak ada. Contohnya, penggunaan bantal untuk tepukan. Awalnya didong hanya mengandalkan kekuatan tepukan tangan, tanpa alat bantu. Tapi kemudian tepukan bantal yang kini dipakai dalam didong, dimulai oleh Ceh To’et tahun 1964 di Bintang, dalam sebuah didong jalu. Toet, seniman yang cukup popular dan menasional kaya akan lirik didong dan inovatif. Toet-lah yang memulai penggunaan bantal untuk tepukan pada didong.
Sepanjang sejarah didong, kesenian ini ikut mewarnai sejarah kehidupan orang Gayo sendiri. Awalnya didong digelar dibawah rumah-rumah panggung warga warga Gayo yang di periode awal memang tinggi. Didong memang selalu menampilkan dua kelop dalam sebuah penampilan. Kedua kelop ini saling mengadu ketangkasan kata. Seperti berbalas pantun dalam budaya Melayu. Hanya saja, didong menggunakan bahasa asli Gayo dalam didong jalu. Meski saling menyerang dengan kata-kata, di periode awal didong, kata-kata yang digunakan menyerang lawan dalam perang kata-kata, menggunakan bahasa istilah yang dalam dan kaya makna. Tapi kemudian, dalam didong jalu, perang kata-kata vulgar dan tanpa istilah peribahasa kemudian juga berkembang seiring komersialisasi didong. Kalau kata-katanya tidak kasar dan saling menghina dan menghujat, penonton merasa kurang seru. Mulailah didong saling menghujat dan membuka aib.
Didong juga kemudian dipakai sarana menggalang dana untuk berbagai keperluan umum. Seperti membangun Mersah (Menasah), sekolah, jembatan dan sejumlah kepentingan umum. Dua grup didong bertanding, kepada penonton dikenakan tiket. Uang penjualan tiket dipakai untuk membangun sarana umum.
Sebuah kelop didong bisa mengalami stagnasi atau kevakuman dalam berkarya. Hal ini disebabkan daya tarik kelop didong sudah tidak ada lagi. Daya tarik kelop didong biasanya pada suara ceh dan kepintarannya mengungkapkan sesuatu melalui lirik didong yang dibawakan. Biasanya, jika dalam satu kelop didong ada ceh kucak dengan suara yang merdu dan fasih melantunkan bait-bait didong, maka grup didong ini akan banyak diundang untuk tampil dalam banyak kesempatan.
Pada satu periode di masa lalu masyarakat Gayo diikat secara ketat oleh norma-norma adat. Pada waktu itu orang Gayo masih terkotak-kotak dalam klen-klen (belah). Belah itu adalah kesatuan sosial yang merasa berasal dari satu nenek moyang yang masih kenal mengenal dan selalu ada kontak diantara para anggotanya. Pada setiap belah biasanya ada satu grup (kelop) kesenian didong. Pada waktu-waktu tertentu diadakan pertandingan didong antara dua kelop yang berasal dari belah yang berbeda. Keadaan semacam itu masih berlangsung sampai dengan berakhirnya kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda di Gayo.
Pada masa itu didong ditandai oleh apa yang disebut bentuk didong berwajib. Didong semacam ini dapat diartikan bahwa ia tampil harus dengan tema wajib. Pada waktu itu pertandingan didong berlangsung dengan nyanyian berteka-teki. Dalam pertandingan semacam itu satu kelop mendendangkan soal teka-teki kemudian kelop lawan dari belah lain harus mencari jawabannya dengan cara berdendang pula. Demikian seterusnya secara bergantian memberi dan menjawab soal antara dua kelop selama semalam suntuk.
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pemain didong harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara. Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan kesenian didong.
Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang.
Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana guna membangun gedung sekolah, madrasah, masjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong dengan saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.
Beberapa waktu lalu didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan). Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.