BANDA ACEH – Tersusun bambu berdiri tegak berwarna cokelat yang menyerupai Lobster di pintu masuk anjungan kabupaten Simeulue pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8. Banyak pengunjung dari berbagai daerah mampir dan bersewafoto, saya bingung dan bertanya dalam hati. Apa makna bambu berdiri tegak menyerupai Lobster tersebut?.
Penasaran, perlahan kaki kecil menapak dan melangkah menuju pintu masuk melewati bambu kokoh berdiri yang berwarna cokelat. Saya disambut dua orang wanita cantik yang merupakan petugas penjaga stand kuliner seraya memakai pakaian adat asal Simeulue.
Petugas penjaga stand kuliner Simeulue itu bernama Monalisa dan temannya. Mona yang terlihat cantik dan lugas mengatakan, susunan bambu berwarna cokelat yang berbentuk Lobster merupakan ikon dan kebanggaan mayarakat Simeulue. Dulu, hingga saat ini Simeulue merupakan penghasil Lobster di Aceh.
Mona sedikit bercerita, perjalanan dari pusat Kota Banda Aceh menuju Pulau Simeulue yang membutuhkan waktu kurang lebih 16 jam. Pulau Simeulue masih sangat alami, begitu tenang dikelilingi pulau-pulau kecil dan kicauan burung nan indah terdengar dipagi hari.
Selesai bercerita, saya yang diiringi Mona memasuki stand kuliner tradisional kabupaten Simeulue. Disana, saya ditawarkan mencicipi makanan khas Simeulue, lumpia dan memek dan berabagai macam kulir lainnya yang berjejeran di rak meja petugas.
Mona menjelaskan, masyarakat Simeulue, memiliki makanan khas dengan nama yang unik, memek. Dalam bahasa Indonesia artinya mengunyah. Kudapan berbentuk bubur ini dulunya menjadi bekal bagi warga Simeulue saat berpergian.
Bahan yang harus disiapkan untuk membuat memek antara lain beras ketan, pisang, santan, garam serta gula. Pisang ditumbuk kasar dan beras digongseng.
Kata Mona, ketika memek dimakan, rasa pisang dan beras gongseng lebih terasa. Aroma dari beras gongseng juga menusuk ke hidung. Sekilas, bentuk memek ini mirip seperti bubur.
Mendengar nama memek, saya langsung berpikiran kotor. Tapi, ketika saya rasa kuliner khas Pulau Simeulue ini bikin ketagihan, meski namanya berkonotasi negatife.
Melangkah masuk kedalam sembari menaiki anak tangga, disebelah sisi kanan terdapat sebuah kolam yang didalamnya diisi dengan kapal mini yang bertuliskan KMP Aceh Hebat 1. Disisi pinggir kolam dikelilingi tanaman cengkeh dengan tinggi pohon sekitar 2 meter.
Kata petugas penjaga anjungan Simeulue yang bernama Dayan, itu merupakan eko wisata yang ditampilkan di PKA-8. Kolam tersebut diilustrasikan layaknya laut, kapal mini bertuliskan KMP Aceh Hebat 1 itu merupakan kenderaan transportasi laut yang biasa digunakan masyarakat simeulue atau wisatawan yang ingin berlayar menuju kabupaten Simeulue atau berpergian menuju daratan Aceh.
Ada pohon cengkeh yang mengelilingi kolam, kata Dayan Simeulue didukung iklim tropis dan tanahnya yang begitu subur, menyimpan banyak kekayaan alam seperti cengkeh. Di Aceh, Simeulue penghasil cengkeh tertinggi dan berkualitas. Tanaman cengkeh di pulau simeulue telah menjadi penopang ekonomi masyarakat sejak zaman kolonial belanda.
Semakin kedalam, menghimpit pengunjung sembari melewati pintu yang berkaca, di sisi kiri berjejeran tumbuh tumbuhan yang terletak didalam pot yang bertuliskan, Cengkeh, Jariangao, Alimao dan lainnya. Di sisi kanan ada dua meja mini yang beratapkan daun rumbia.
Meja pertama dipenuhi dengan rempah-rempah, ada Akar Bajakah, Cengkeh, Ketumbar, Jahe, Daun Salam, Kunyit, Temu Kunci, Lada Hitam, Kapu Laga dan Pala. Di meja kedua berjejaran Minyak Cengkeh, Minuman Limau Fawang, Jamu Temu Lawak dan Minyak Serai.
Diujung pintu kedua, saya melihat berdirih kokoh pabrik produksi yang dimerek dengan nama penyulingan minyak cengkeh serta diapit pohon cengkeh beserta daunnya dan juga pohon dolok-dolok.
Melihat banyaknya berjejeran rempah-rempah dimulai dari pintu masuk anjungan itu, saya bertanya kepada ibu-ibu petugas penjaga meja, mengapa banyak sekali rempah-rempah ditampilkan?.
Kata petugas, Rosniar, Simeulue mengusung konsep sesuai dengan tema PKA-8 yakni Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia. Karena sesuai tema, makanya kita tampilkan rempah-rempah asal Simeulue.
Konsep itu, kata petugas anjungan, menceritakan bagaimana sejarah rempah yang berasal dari Simeulue yang kemudian dijual ke dunia luar pada masa kolonial belanda.
Semakin penasaran, langkah kaki kembali menapak anak tangga dari pintu kedua menuju lantai atas anjungan. Diatas, terlihat sebuah kapal yang bertuliskan sinabang Amsterdam, diapit dua helai tikar bermotifkan Tuhek dan Terawang.
Sebuah kapal lagi berada di dekat sudut anjungan bertuliskan Batafia.v.o.c yang juga diapid miniature Pelaminan yang diselimuti batik mata-mata khas Simeulue serta bergantungan kain Batik bermotif mata Sembilan, mata Empat, Pucuk Rebung, Cengkeh, Lobster dan motif Terumbukarang.
Kata penjaga yang juga Sekretaris Rumah Batik Simeulue, Agnes Indrilia, di Simeulue banyak farian motif kain batik dan yang memang kain batik motif khusus khas Simeulue yaitun kain batik motif Mata-Mata.
Sembari menikmati padatnya pengunjung ke anjungan Simeulue, Agnes juga menjelaskan, kain batik motif mata-mata khas Simeulue telah dipatenkan sejak tahun 2012. Nah, hal ini tidak boleh lagi ditiru oleh kabupaten lain.
Kemudian, kain batik dan tikar khas simeulue yang belum dipatenkan telah diurus dokumennya dan sedang dalam proses. Kata Agnes, tahun 2024 surat hak peten akan terbit. Diantaranya, Tikar motif Nilam, Tikar motif Terawang, Tikar motif Tuhek dan kain Batik motif Lobster.