BANDA ACEH – DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh bekerjasama dengan Tastafi Kota Banda Aceh dan HIPSI Aceh menggelar Kajian Aktual Tastatif, yang berlangsung di Hotel Kyriad Muraya, kota Banda Aceh, Minggu malam (27/08/2023)
Acara Kajian Aktual Tastatif dipandu oleh Guru Besar UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Syamsul Rijal, M.A. Adapun narasumber dalam acara tersebut diantaranya, Ulama Muda Aceh, Abuya Habibi Muhibuddin Waly Al Khalidi. Ketua Senior DPP ISAD, Tgk M.Yusuf Al-Qardhawy, SHI, CPM, MH, Pangdam Iskandar Muda yang diwakili Kalakbintal Iskandar Muda, Letkol Mulyadi, S.T, M.I.Pol, M.Tr (Han), dan Akademisi UIN Arraniry dan Ulama . Dr. H. Tgk. Mutiara Fahmi, LC, MA.
Kegiatan tersebut mengangkat tema yaitu “Kontribusi Besar Ulama Aceh dalam Mewujudkan dan Merawat Kemerdekaan Indonesia”. Kegiatan itu juga disponsori oleh Hotel Kyriad Muraya dan Bank Syariah Indonesia (BSI).
Ketua Umum DPP Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla, S.Pd.I dalam sambutannya mengatakan, bahwa Kontribusi Besar Ulama Aceh sangat berpengaruh dalam Mewujudkan dan Merawat Kemerdekaan Indonesia.
Dikatannya, ada dua ulama besar Aceh yang patut dan layak mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, mengingat kontribusi besar keduanya untuk Bangsa Indonesia. Kedua ulama tersebut adalah Abuya Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee.
“Saat ini peran kedua ulama Aceh ini belum maksimal diangkat ke permukaan publik, sehingga sudah sepatutnya berbagai elemen di Aceh mendiskusikan peran dan kontribusi keduanya agar mendapat pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional,” kata Tgk Mustafa Husen Woyla.
Tgk Mustafa Husein Woyla mengatakan, saat dirinya berdiskusi dengan beberapa tokoh nasional di Jakarta, disebutkan bahwa Abuya Muda Wali dan Abu Hasan Krueng Kalee sudah layak dianugerahi tokoh Pahlawan Nasional, dengan catatan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan untuk ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
“Dan sekarang Alhamdulillah sudah ada delapan orang yang dianugerahi gelar pahlawan nasional, hanya satu ulama, yakni Teungku Chik di Tiro atau yang bernama asli Muhammad Saman. Ada pun yang lain Para raja dan pejuang serta dari militer,” ujarnya.
Ia menilai peran memerdekakan dan merawatnya kedaulatan NKRI disinilah yang menjadi titik awal kontribusi kedua tokoh dari dayah/pesantren ini layak di anugerahi pahlawan nasional.
Dari pantauan situasi.co.id, yang menjadi Pemateri Pertama: Ulama Muda Aceh, Abuya Habibi Muhibuddin Waly Al Khalidi mengatakan, mengutip dari beberapa sumber buku yang ditulis langsung oleh murid Abuya Muda Wali, seperti Abu Syihabuddin Syah, Abu Adnan Bakongan selaku sahabat karib Abuya Muda Wali yang juga termasuk muridnya, ada beberapa data yang menyebutkan bahwa Abuya Muda Wali disamping sebagai seorang ulama besar juga seorang nasionalis.
“Tentang nasionalis Abuya Muda Wali juga diakui oleh sejumlah tokoh nasional waktu itu, diantaranya Gubernur Sumatera Utara pertama, Sutan Mohammad Amin Nasution atau yang lebih dikenal SM Amin,” katanya.
Disebutnya bahwa Abuya Muda Wali punya jasa besar dalam kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam menciptakan keamanan kembali di Aceh pasca kemerdekaan.
Pada masa DITI, lanjutnya, Gubernur Sumatera Utara SM Amin tidak hanya berterimakasih kepada Abuya Muda Wali tapi juga berterimakasih kepada Abu Hasan Krueng Kale, karena tidak masuk atau mendukung kelompok pemberontakan, yang saat itu sudah terpengaruh oleh beberapa aliran dari luar.
“Intinya, dari beberapa literasi yang ada, banyak sekali kontribusi besar Abuya Muda Wali terhadap Republik Indonesia. Walaupun Nampak mendukung, namun hanya bersifat sebagai ulama yang dimintai pendapat, tidak lebih dari itu, bahkan pernah ditawarkan jadi menteri agama namun ditolaknya. Begitu juga sejumlah dana juga tidak diterima, hanya diterima genset kapasitas besar untuk penerangan di dayah labuhan haji,” ungkap Abuya Habibi Muhibuddin Waly.
Sementara, Pemateri Kedua: Tgk M.Yusuf Al-Qardhawy, SHI, CPM, MH, Ketua Senior DPP ISAD Periode 2008 – 2012 Periode 2012 – 2018. Mengatakan, bahwa Peran Ulama Aceh terhadap perlawanan penjajahan Belanda telah diakui oleh dunia.
“Kuatnya perlawanan Aceh karena Ulama dan Habaib yang mampu menggerakkan para santri dan pengikutnya untuk berjuang mempertahankan kedaulatan Aceh dari tangan penjajah Belanda,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, bahkan Snouck Hurgronje, tokoh yang dikirim Belanda ke Aceh untuk mempelajari adat-istiadat, kebudayaan, dan ajaran Islam masyarakatnya Aceh pernah mengeluarkan pernyataan bahwa jika ingin menguasai Aceh maka bunuh lebih dulu para ulama dan Habaib.
“Lemahnya perlawanan ulama Aceh terhadap penjajahan Belanda dimulai pasca meninggalnya Tgk Chik Ditiro akibat diracun pada Januari 1891,” ujarnya.
Kemudiaan, Pemateri Ketiga: Letkol Mulyadi, S.T, M.I.Pol, M.Tr (Han), Kalakbintal Iskandar Muda yang mewakili Pangdam Iskandar Muda mengatakan, peran ulama dan santri sangat besar terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurutnya, hal ini bisa kita lihat catatan sejarah, perlu juga diketahui bahwa kita punya UU yang didalamnya dituliskan
“Atas berkat ramat dan anugerah Allah/Yang Maha Kuasa. Ini menandakan bahwa ada campur tangan Allah dalam Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Campur tangan Allah di sini adalah melalui perjuangan orang-orang yang dicintainya yaitu para ulama dan pejuang,” jelasnya.
Dijelaskannya, NKRI kuat karena ada kesepakatan dan pijakan yang kuat dari para ulama di seluruh Nusantara.
“Di Aceh diantara contoh pelaku sejarah santri dan ulama ada Teungku Chik di Tiro , Abu Chik Abuya Muda Wali Al Khalidi dan Abu Hasan Krueng Kalee dan sejumlah ulama besar lainnya” tuturnya.
Sedangkan, pemateri Kempat: Dr. H. Tgk. Mutiara Fahmi, LC, MA (Akademisi UIN Arraniry dan Ulama), Kenapa ulama itu harus membela negara? Prinsip kemerdekan, prinsip kenegaraan, ini adalah bagian dari ajaran kita Islam.
“Peran politik ulama apa saja? Ada banyak peran besar ulama Aceh dalam hal politik saat kemerdekaan Republik Indonesia, khususnya Abu Hasan Krueng Kalee dan Abuya Muda Wali,” ucap Tgk. Mutiara Fahmi.
Ia menambahkan, salah satunya ada maklumat ulama Aceh yang ditandatangani pada 15 Oktober 1945. Maklumat ini ditandatangani oleh Abu Hasan Krueng Kalee, Abu Ja’far Shiddiq Lamjabat, Abu Ahmad Hasballah Indrapuri, dan juga Abu Daud Beureueh.
“Maklumat tersebut seolah-olah fatwa dari ulama Aceh pada masa itu yang menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kelanjutan dari perjuangan Teungku Chik Ditiro. Jelas tertulis dalam maklumat itu, dan ini adalah perang Sabil yang harus dibantu,” katanya.
Dengan lahirnya maklumat tersebut, kata Tgk. Mutiara Fahmi, maka berdirilah di situ di belakang Presiden Soekarno, itu adalah sebagai ketaatan kepada pemimpin. Lalu apa yang terjadi setelah itu, maka lahirlah barisan Mujahidin di seluruh pesantren dan dayah-dayah di Aceh.
“Tanggal 17 November terjadi Musyawarah besar didepan Masjid Tiro yang disitu Abu Hasan Krueng Kalee hadir kemudian mengangkat Teungku Umar Tiro sebagai Panglima Barisan Mujahidin,” ungkapnya.
Lebih dalam ia menjelaskan, sementara di Banda Aceh di depan Masjid Baiturrahman, seminggu setelahnya atau tanggal 23 November lahir Barisan Hizbullah yang dipimpin langsung oleh Teungku Daud Beureueh.
Dijelaskannya, tugas para pejuang Barisan Mujahidin dan Hizbullah ini bukan hanya menjaga Aceh dari masuknya kembali ninja dan tentara Belanda, tapi juga mengirim tentara pejuang Aceh ini hingga ke Besitang, sampai ke Langkat, sampai ke Brandan yang dikenal dengan Perang Medan Area.
“Perang Medan Area ini namanya yang Medan, tapi yang berperang adalah orang Aceh. Karena lokasinya yang di Medan tapi yang datang itu untuk berperang orang Aceh. Ini adalah bukti nyata dari peran ulama Aceh dalam menjaga kemerdekaan Republik Indonesia. Turun langsung dalam militer,” ujarnya.
Ia menyebutkan, adapun peran Abu Hasan Krueng Kalee dalam menjaga kemerdekaan ketika ada perang cumbok, sebelum pecah peperangan, Abu Krueng Kalee mendatangi Teuku Daud Cumbok untuk tidak
“Sekalipun Nampak mendukung soekarno namun tidak menjilat Abu Krueng Kalee, juga mengkritik Soekarno dalam bebepa hal, karena selalu berada pihak netral atas hukum islam,” katanya.
Dijelaskannya, masalah kecil di siding cipinas, dikritik soekarno karena ulama dan undangan makan sambil berdiri, tidak ada meja dan kursi. Ketika Soekarno cetuskan Nasakom, Abu Krueng mengkritik dengan mengutip ayat 49 Surat At-Taubah “alā fil-fitnati saqaṭụ” artinya; Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah.
“Ingatlah pada fitnah itu iya akan jatuh. Karena tidak akan pernah bersatu air dan minyak. Komunis dan agama tidak akan bersatu,” ucapnya
Perlu ditegaskan juga, bukannya ulama atau Abu Krueng Kalee bersikap plin-plan, artinya, pada awal ia mengeluarkan maklumat melawan belanda mendukung kemerdekaan, namun pada 20 Maret 1949 Gedung Setan ketika mendapat surat dari Dr. Tengku Mansur atau Tengku Mansoer, Wali Negara Sumatra Timur, sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat.mengajak menjadi negara federasi Sumatera.
Ketika itu ada tiga pendapat, pertama menjadi negara federasi Sumatera, kedua dari Abu Krueng Kalee Aceh berdiri sendiri dan ketiga Teuku Daud Beureuh tetap bersama NKRI. Namun sayang ketika Aceh merasa dikhiati Soekarno Teuku Daud Beureuh membuat Gerakan DI TII untuk kembali peisah dari NKRI.
“Ketika Teuku Beureuh mengajak Abu Krueng Kalee bergabung ke pergerakannya, juga sesuai dengan pandangan fikih siasahnya , bukan kepentingan politik sesaat. Abu Krueng Kalee menolak dengan kata yang popular sampai hari ini (ta peuek geulayang wate na angen),” demikian kata Tgk. Mutiara Fahmi.