BANDA ACEH – Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK RI) melalui Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Prestasi Olahraga, Didik Suhardi, SH., M,Si., Ph.D menghadiri pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 tahun 2023 di Taman Ratu Safiatuddin Kota Banda Aceh, Sabtu (04/11/2023).
Sebelum memberikan kata sambutan dan salam hangat dari Menko PMK, Didik Suhardi meramaikan suasana PKA-8 dengan melantunkan pantun yang disambut riak gemuruh para pengunjung.
“Pagi-pagi kekebun bunga, melihat cantiknya bunga dahlia, mari kita hadir kepesta Budaya agar rempah Aceh mendunia”
Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Prestasi Olahraga, Didik Suhardi, SH., M,Si., Ph.D mengatakan, bahwa Aceh merupakan salah satu pintu gerbang jalur Rempah di Nusantara. Kejayaan Rempah Aceh pada abad ke 15 hingga abad ke 18. Kemudian, Aceh merupakan penghasil Rempah terbaik Dunia.
“Kejayaan Rempah Aceh berlangsung pada abad 15-18. Pada saat itu, Rempah Aceh merupakan salah satu Rempah terbaik di Dunia,” kata Didik saat memberikan kata sambutan mewakili Menko PMK, Sabtu malam yang dihadiri Situasi.co.id.
Didik juga menyebutkan, tema PKA-8, Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia, dapat mengembalikan kejayaan Rempah Aceh terhadap Industri Rempah. Didik juga berharap dengan industri Rempah dapat mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat Aceh.
“Tentu kami dari pemerintah pusat sangat mengapresiasi tema ini. Semoga dengan tema rempah ini akan membawa kembali kejayaan Aceh terhadap industri rempah yang mana harapannya dengan rempah ini akan mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat Aceh,” ucapnya.
Didik juga mengingatkan, Era Globalisasi membawa pengaruh sangat besar. Pengaruh Budaya Asing melalui Media massa dan Internet. Kemudian, tempat tinggal yang dihenggapi dengan gaya-gaya budaya Asing yang juga efeknya berimbas kepada kaum ibu-ibu.
“Saat ini kita berada di era globalisasi yang membawa pengaruh besar pada kebudayaan kita. Pengaruh budaya asing melalui media massa, internet dan juga melalui rumah-rumah kita yang mana sekarang sudah mulai dihenggapi dengan budaya-budaya asing. Seperti, Drakor (drama Korea) yang saya kira sebagai bagian yang saat ini digemari oleh ibu-ibu kita,” ungkapnya.
Oleh karena itu, tambah Didik, dengan adanya Pekan Kebudayaan Aceh ke-8 dapat kembali mengembangkan, meningkatkan dan melestarikan Budaya Aceh. Sehingga. Budaya Aceh tidak hanya sekedar tontonan yang dinikmati masyarakat Aceh dan Dunia.
“Tentu, dengan adanya Pekan Budaya Aceh ini kita berharap mari kita kembali kembangkan, tingkatkan kita lestarikan dan juga kita tempem budaya Aceh ini sehingga budaya Aceh ini bukan hanya sekedar tontonan yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Aceh maupun masyarakat Dunia,” tambahnya.
Tak hanya itu, ungkap Didik, Budaya Aceh juga harus menjadi tuntutan yang memiliki nilai-nilai Budaya Aceh yang merupakan Budaya leluhur di Aceh.
“Tetapi juga bisa menjadi tuntutan karna banyak nilai-nilai yang ada dalam Budaya Aceh yaitu merupakan Budaya luhur di provinsi Aceh,” ungkapnya.
Kemudian, Diduk juga menjelaskan, disamping menjadi tontonan dan juga tuntutan. Tentu, Budaya juga mencerminkan tatanan.
“Kenapa menjadi tatanan? Karena, budaya juga mencerminkan tata kehidupan adat istiadat yang sudah dibangun oleh leluhur dari dulu sampai sekarang,” jelasnya.
“Sekali lagi kami ucapkan selamat kepada pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam semoga dengan pekan budaya Aceh yang dilaksanakan hari ini disamping memberikan hiburan kepada masyarakat Aceh juga bisa meningkatkan ekonomi baik itu untuk masyarakat lokal maupun masyarakat yang memang bergerak di bidang ekonomi,” pungkasnya.
Diakhir penutupan sambutan, Didik Suhardi kembali melantunkan Pantun yang menggairahkan para pengunjung.
“Hari sabtu pergi ke Aceh, mampir sebentar makan serikaya, mari ramaikan pekan budaya Aceh dalam upaya melestarikan budaya”
Pembukaan PKA-8 dihadiri oleh Kapolda Aceh, Pangdam Iskandar Muda, Kajati Aceh, perwakilan DPRA serta perwakilan negara sahabat dari kedutaan Besar Malaysia, India dan Jepang.
Untuk diketahui, prosesi pembukaan PKA ditandai dengan penumbukan rempah dalam lesung kaye (lesung kayu) oleh Wali Nanggroe, Penjabat Gubernur Aceh dan para wali kota dan bupati dari 23 kabupaten dan kota se-Aceh, di panggung utama.
SEJARAH MASA KEJAYAAN REMPAH ACEH
Sejarah masa kejayaan rempah Aceh terkait erat dengan kekayaan alam dan letak geografis Aceh, sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di ujung barat Sumatera. Aceh memiliki iklim tropis yang cocok untuk pertumbuhan rempah-rempah, dan wilayah ini telah lama dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan rempah-rempah di dunia. Masa kejayaan rempah Aceh terjadi selama berabad-abad, terutama pada zaman kekaisaran Aceh yang kuat.
Zaman Kekaisaran Aceh juga dikenal sebagai Kesultanan Aceh Darussalam, adalah salah satu kerajaan Islam terkuat di Asia Tenggara. Pada puncak kejayaannya pada abad ke-16 dan awal abad ke-17, Aceh menguasai sebagian besar pesisir barat Sumatera dan merupakan salah satu pusat perdagangan rempah-rempah yang paling penting di dunia.
Pada saat itu, Aceh adalah pusat perdagangan rempah-rempah seperti cengkeh, lada, pala dan kapulaga. Rempah-rempah ini sangat dicari di seluruh dunia dan digunakan dalam pengawetan makanan, obat-obatan dan industri kosmetik.
Selama masa kejayaan Aceh, kerajaan ini terlibat dalam persaingan dengan bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda, yang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Aceh berhasil menahan serangan Portugis pada tahun 1565, tetapi kemudian menghadapi tekanan dari Belanda.
Kekaisaran Aceh mengalami penurunan pada abad ke-17 karena perang yang berkepanjangan dengan Belanda dan rivalitas internal. Pada akhirnya, pada tahun 1903, Aceh jatuh di bawah kendali Hindia Belanda.
Rempah-rempah juga memiliki pengaruh yang mendalam terhadap budaya Aceh. Makanan dan minuman tradisional Aceh sering kali menggunakan rempah-rempah dalam berbagai hidangan, memberikan cita rasa khas.
Meskipun Aceh kehilangan dominasinya dalam perdagangan rempah-rempah pada abad ke-17, provinsi ini memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Pada abad ke-20, Aceh menjadi pusat perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan Belanda dan kemudian mengalami konflik bersenjata yang berakhir dengan kesepakatan damai pada tahun 2005.
Masa kejayaan rempah Aceh adalah bagian dari sejarah yang kaya dan penting dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah Asia Tenggara. Meskipun Aceh tidak lagi memiliki peran utama dalam perdagangan rempah-rempah seperti pada masa lalu, warisan budaya dan sejarahnya tetap hidup dalam masyarakat Aceh saat ini. (ADV)